PENGERTIAN DAN CIRI-CIRI ANAK AUTIS
Istilah autisme berasal dari kata “autos” yang berarti sendiri, dan “Isme” yang berati aliran. Dengan demikian autisme berarti suatu paham yang tertarik pada dunianya sendiri. Sedangkan autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks seperti komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi (Lovaas, O.I. 1991).
Autis bukan penyakit menular, tetapi merupakan sekumpulan gejala klinis atau sindrom yang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor yang unik, dan saling berkaitan satu sama lain. Dikatakan unik karena memiliki kekhususan tersendiri seperti gangguan spectrum autisme (autism spectrum disoders) yang identik dengan gangguan perkembangan perpasif (Shaw, William; tanpa tahun).
Sedangkan gejala atau cirri-ciri anak yang tergolong autis cukup banyak. Gejala tersebut diantaranya (1) kurang mampu berbicara dan sulit berkomunikasi dengan orang lain; (2) sulit mengungkapkan keinginannya sehingga suka sekali menarik tangan orang lain, atau menunjuk-nunjuk keinginannya; (3) suka membeo (echolalia) atau sebaliknya jika ditanya tidak menjawab tetapi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya; (4) suka menangis, marah, tertawa tanpa diketahui sebabnya; (5) sulit bermain dengan teman sebayanya; (6) tidak responsive bila diajak berbicara seakan tidak mendengar walaupun tidak tuli; (7) tidak responsif terhadap metode pembelajaran dari terapis/guru; (8) tidak suka dipeluk atau memeluk orang lain; (9) suka menyendiri dan cuek terhadap lingkungan sekitarnya; (10) takut pada benda, suara atau suasana tertentu; (11) kontak mata sangat kurang; (12) tidak sensitif atau sebaliknya sangat sensitif terhadap rasa sakit; (13) tidak mengenal bahaya apapun; (14) kemampuan motorik kurang bisa berkembang; (15) suka mengulangi gerakan yang tanpa tujuan; misalnya jinjit-jinjit, memukuli kepala, tepuk-tepuk tangan, mata melirik dan berkedip, main jari tangan, memegang kemaluannya, dan memasukkan benda ke mulutnya; (16) suka mengamuk jika keinginannya tidak terpenuhi; (17) lekat pada benda tertentu; seperti bantal, guling, gambar pada majalah; (18) menutup telinga jika mendengar suara tertentu; (19) cara bermain tidak wajar seperti suka menumpuk, suka membuang-buang; (20) suka memutar-mutar benda; (21) mempertahankan rutinitas sehingga sulit menyesuaikan diri dengan perubahan dan (22) hiperaktif atau sebaliknya sangat pasif (Yuniar, 2006).
Dua puluh dua gejala seperti yang disebutkan di atas biasanya tetap terlihat di manapun anak autis berada yang berbeda dengan tingkah laku anak seusianya. Namun demikian setiap anak mempunyai variasi gejala yang berbeda-beda. Sedangkan secara klinis diangnosis autisme tampak adanya empat gejala seperti (1) kurangnya kemampuan interaksi sosial dan emosional; (2) kurangnya komunikatif timbal balik; (3) minat yang terbatas disertai dengan gerakan berulang-ulang tanpa tujuan; dan (4) respon sensorik yang menyimpang (Maurice C, 1993).
PEMBELAJARAN PERUBAHAN TINGKAH LAKU PADA ANAK SEKOLAH AUTIS MENJELANG MASUK SEKOLAH DASAR
Pembelajaran di sekolah autis, khususnya pembelajaran PKn di sekolah autis berbeda dengan pembelajaran PKn di sekolah dasar. Perubahan tingkah laku diawali dari tahap dini, tahap menengah, dan tahap lanjut atau mahir. Setelah melalui terapis dalam tiga tahapan di atas, anak autis berhak mendapatkan wadah untuk meneruskan sekolah di SD inklusi. Pengertian inklusi di sini sama dengan pengertian terpadu, sedangkan pendidikan inklusi adalah pendidikan yang menempatkan anak autis yang berkebutuhan khusus belajar di sekolah umum/reguler (Samsudi, 2006). Dengan demikian SD inklusi adalah SD yang ditunjuk untuk menerima anak-anak autis/SLB setelah mendapatkan terapi secara matang.
Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa tingkatan atau skala anak autis terdiri dari tiga tingkatan yaitu (1) tingkatan dini; (2) tingkatan menengah; dan (3) tingkatan lanjut/mahir. Setelah melalui tiga jenjang tersebut diharapkan anak autis sudah mendapatkan pembelajaran perubahan tingkah laku dengan baik. Perubahan tingkah laku yang dimaksud adalah (1) perilaku hiperaktif dihilangkan; (2) perilaku pasif ditingkatkan agar lebih aktif; (3) perilaku dengan pembelajaran pendampingan diupayakan agar anak tidak didampingi lagi tetapi bisa mandiri; (4) pembelajaran dengan model individual secara berangsur-angsur ditinggalkan dan dibiasakan dengan pembelajaran model klasikal dan regular (Berkow, 1987).
Contoh pembelajaran perubahan tingkah laku pada anak autis pada level/ tingkatan dini, menengah dan lanjut/ mahir dengan pokok bahasan hormat menghormati. Contoh pembelajaran dengan pokok bahasan hormat menghormati untuk anak pada level dini. Jika ketemu orang dibiasakan untuk menyapa walaupun belum mengenal sebelumnya. Caranya dengan mengucapkan selamat pagi, selamat siang, selamat malam yang disesuaikan dengan waktu atau mengucapkan salam Assalamu’alaikum. Hal seperti ini dibiasakan secara terus menerus yang di dampingi oleh terapis, sampai bisa melakukan dengan sendirinya tanpa ada terapis di sampingnya. Begitu pula kepada orang tua atau keluarga yang mengantarkan sekolah. Dengan didampingi oleh terapis anak tersebut dibiasakan pamit pada orang tua sebelum masuk kelas.
Sedangkan di level menengah, jika lewat di depan orang atau terapis selalu dibiasakan mengucapkan permisi sambil sedikit merunduk dan jika melakukan kesalahan di biasakan untuk meminta maaf yang di dampingi oleh terapis secara terus menerus sampai bisa melakukan sendiri tanpa pendamping/ terapis.
Begitu pula untuk anak di level lanjut/mahir, anak di tingkat mahir sudah mulai meninggalkan pembelajaran dengan model individual tetapi secara bertahap dibiasakan dengan pembelajaran klasikal. Contoh pembelajaran dengan pokok bahasan hormat menghormati, anak mengangkat tangan bila akan mengajukan pertanyaan atau menjawab pertanyaan. Jadi tidak perlu datang menghadap guru, tetapi tetap duduk di bangkunya sambil mengacungkan tangan. Contoh lain anak dibiasakan mau merespon ajaan bermain temannya jika waktu istirahat, begitu juga sebaliknya mengajak bermain teman dengan sapaan yang baik atau isyarat yang sopan. Diharapkan waktu anak akan memasuki SD Inklusi, anak sudah dibiasakan tidak hiper aktif, tidak pasif, tidak tergantung dengan pendamping secara terus menerus dan biasa belajar dalam kelas klasikal, sehingga anak siap untuk menerima pembelajaran PKn SD.
Anak-anak autis yang sudah dianggap matang sampai level lanjut/ mahir dibiasakan berani menghadapi guru di depan kelas dan dibiasakan bersosialisasi dengan teman-teman lain yang telah dipersiapkan untuk masuk ke sekolah dasar. Oleh karena itu pembelajaran secara klasikal perlu diberikan setiap hari dan materi PKn SD sudah mulai bisa diberikan sehingga waktu memasuki SD sudah tidak asing lagi.
Leave a Reply